Sinema AS Penyebar Rasialisme
Fenomena rasialisme
sudah ada di sepanjang sejarah manusia. Di abad ke-20, fenomena ini juga
ada di sejumlah negara dalam bentuknya yang resmi; sebagaimana istilah
"apartheid" pertama kali digunakan pada tanggal 26 Maret 1943 dalam
tajuk rencana Koran "Die Burger" Afrika Selatan, dan setelah itu ia
menjadi bahan pembahasan di berbagai lembaga dunia. Peristiwa-peristiwa
politik di abad ke-20, yang berpijak pada idiologi rasialisme, telah
membuka peluang munculnya filem-filem tentang hal ini. Akan tetapi,
sebelum filem, radio dan media cetak sudah berperan dalam
mempropagandakan idiologi ini, di masa Perang Dunia I dan II. Kemudian
secara bertahap, filem menggeser posisi radio dan media cetak dalam
melanjutkan propaganda tersebut.
Jika kita cermati dengan
teliti maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dalam perannya
sebagai alat propaganda, filem selalu digunakan oleh berbagai perusahaan
AS yang menggambarkan etnis dan bangsa-bangsa lain yang tidak sejalan
dengan mereka, dengan gambaran-gambaran yang sangat negatif dan buruk.
Selama bertahun-tahun, kondisi seperti ini berjalan di dalam filem-filem
Western, berkenaan dengan bangsa kulit merah yang sesungguhnya merupakan
penduduk asli Benua Amerika. Di dalam filem-filem ini, bangsa kulit
merah selalu ditampilkan sebagai manusia-manusia buas, liar, tak
berperadaban, dan selalu mengganggu kehidupan bangsa kulit putih, yang
sebenarnya merupakan pendatang di benua ini.
Sebaliknya, filem-filem
tersebut selalu menggambarkan bangsa kulit purih sebagai manusia-manusia
berperadaban tinggi, berwatak tenang dan penuh kasih sayang, dan selalu
menjadi sasaran serangan oleh bangsa kulit merah yang buas dan liar itu,
sehingga terpaksa bangsa kulit putih ini membunuh mereka dalam rangka
membela diri. Filem-filem yang dibuat di tahun-tahun 30, 40 hingga 50,
penuh dengan kisah-kisah seperti itu. Filem-filem yang, menurut istilah
yang dikenal, mengatakan bahwa bangsa kulit merah yang baik adalah
bangsa kulit merah yang sudah mati. Padahal sejarah yang ada membuktikan
kondisi yang sepenuhnya kebalikan dari pemandangan yang ditampilkan oleh
filem-filem tersebut.
Setelah beberapa tahun
berlalu, muncul pula segelintir pruduser filem di Barat yang agak jujur,
yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa filem-filem tersebut
telah membuat kebohongan dan distorsi sejarah. Mereka ini kemudian
membuat pula filem-filem yang mengungkapkan sebagian fakta yang ada.
Sebagaimana John Ford dalam filemnya "Cheyenne Autumn" (Musim Gugur Suku
Cheyenne) menayangkan kejahatan tak terperikan Jenderal Custer dan para
anak buahnya terhadap bangsa kulit merah.
Berkenaan dengan bangsa
kulit hitam pun, berlaku pula pengalaman sejarah yang sama dalam
filem-filem Hollywood, dimana sejumlah produser dan sutradara, berusaha
menggambarkan bahwa pembunuhan dan pembakaran orang kulit hitam sebagai
perbuatan suci dan perjuangan mencapai kebebasan bangsa kulit putih. Di
abad ke-20, banyak filem telah dibuat, yang selain menyedot banyak
penonton, juga memperoleh penghargaan-penghargaan semacam "Oscar",
sehingga menaikkan popularitasnya. Dalam filem-filem ini digambarkan
bahwa perbudakan adalah sesuatu yang wajar, dan sebaiknya orang kulit
hitam mengabdi kepada tuan-tuan kulit putih mereka dengan
sejujur-jujurnya. Sebaliknya, orang kulit hitam pemberontak, sama sekali
tidak ada harganya dan harus dihukum seberat mungkin. Filem paling
terkenal dalam hal ini ialah berjudul "Gone With The Wind" karya Victor
Flaming, di tahun 1939.
Pandangan rasialisme ini,
di filem-filem Hollywood dekade 60 dan 70, menjadikan pula sejumlah
negara yang berbenturan dengan AS, baik dalam masalah politik maupun
militer, sebagai sasarannya. Sebagai contoh, berkenaan dengan kisah
perang Vietnam, telah dibuat sejumlah besar filem, yang menggambarkan
kebuasan dan kekejaman bangsa Vietkong. Tak usahlah kita berbicara
tentang filem-filem hiburan dan murahan sejenis Rambo, akan tetapi
filem-filem yang disebut sebagai filem ilmiah dan bernilai seni tinggi
di Barat, juga tidak bersih dari idiologi rasialisme ini. Umpamanya,
dalam filem berjudul "Deer Hunter" (Pemburu Kijang), bangsa Vietnam
digambarkan sebagai orang yang berwatak kasar, yang memaksa para tahanan
AS untuk melakukan permainan "Rolet Rusia". Atau dalam filem "Apocalypse
Now" yang mengisahkan seorang jenderal penentang politik perang AS di
Vietnam, yang merekrut sejumlah orang dan membentuk kelompok penentang
militer AS. Di filem tersebut digambarkan Si Jenderal tersebut sebagai
orang yang gila, dan semua anak buahnya terdiri dari orang Vietnam dan
Kamboja, yang hidup dan berperang dengan cara yang sangat liar dan kejam.
Dalam beberapa dekade
terakhir, gerakan rasialisme Hollywood mengalami kemajuan pesat dan
menemukan dimensi-dimensi barunya. Gerakan ini sedemikian pesat dan luas,
sehingga dapat disebut sebagai "Perjuangan Media Massa" yang sasarannya
mengarah kepada muslimin, Arab dan Iran. Sebagai contoh, meskipun bangsa
Arab sudah berabad-abad hidup di kota-kota besar dan moderen, seperti,
Makkah, Madinah, Jeddah, Rabat, Aljier, Damaskus, Baitul Maqdis, Beirut,
dan lain-lain, dan peradaban mereka masih ada hingga sekarang, akan
tetapi filem-filem Barat tetap saja berusaha meyakinkan kepada para
penontonnya bahwa orang-orang Arab adalah bangsa yang hidup
ditenda-tenda padang pasir.
Mayoritas filem, bahkan
chanel-chanel TV di Barat, terutama AS, menggambarkan orang-orang Arab
dan muslimin, sebagai orang yang fanatik dan ekstrim, yang tidak
memiliki sikap moderat dan tidak mau menerima keyakinan agama orang
lain. Akan tetapi fakta dan bukti-bukti sejarah menunjukkan hal yang
berlawanan dengan itu, dan menjelaskan bahwa muslimin selalu memiliki
sikap lapang dada dan toleransi yang luas terhadap para pengikut agama
lain. Jika kita lihat bahwa pemegang peran utama di Hollywood adalah
para Yahudi dan pendukung zionis, maka penayangan gambaran-gambaran
negatif tentang bangsa Arab dan muslimin di dalam filem-filem Hollywood,
bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Neal Gabler, seorang
Yahudi, penulis buku "An Empire of Their Own" ketika berbicara tentang
sejarah pendirian Hollywood, menulis sebagai berikut, "Kamilah yang
mendirikan industri perfileman, dan mulai mengoperasikannya dengan kaum
Yahudi Eropa Timur. Setelah filem-filem yang dapat dipercaya dan bisa
diterima, dibuat, maka Hollywood menjadi perhatian yang menarik bagi
para penulis Yahudi. Kaum Yahudi pulalah yang mendirikan
perusahaan-perusahaan filem besar seperti "Kolombia", "Metro Goldwyn
Mayer" "Paramount Pictures" "Universal Pictures" dan "20th
Century FOX ".
Rasialisme di AS
mengalami peningkatan yang besar karena keberadaan kaum zionis yang
menguasai industri perfileman di negara ini. Bahkan di dalam
program-program hiburan, baik komedi, pentas-pentas sandiwara,
filem-filem serial, berita dan acara-acara anak-anak, mereka menyebarkan
pula gambaran-gambaran yang sudah diputar balik berkenaan dengan kaum
Arab, muslimin dan ajaran Islam. Di dalam program-program tersebut,
sering kali diselipkan adat istiadat dan upacara-upacara keagamaan
bangsa Arab, yang mayoritas muslimin, dengan cara yang sangat menghina
dan merendahkan.
Sayangnya arus deras
destruktif, yang menumbuhkan ekstrimitas etnis dan agama, di dalam
filem-filem yang diputar di seluruh dunia ini, sempat mempengaruhi jiwa
dan mental jutaan penontonnya, sehingga membuat mereka memandang para
penganut agama lain dan berbagai bangsa di luar mereka, yang menjadi
sasaran propaganda beracun di dalam filem-filem Barat, dengan pandangan
buruk.
|